“Di masa kebangunan ini maka tiap-tiap orang harus menjadi guru, menjadi pemimpin”. Guru dan pemimpin itu sangat dibutuhkan untuk membangun karakter bangsa. Dalam membangun karakter, bangsa Indonesia perlu belajar sejarah7 tetapi secara dinamis. “Jikalau kita mempelajari dan mengagumi Sriwijaya dan Mataram dan Majapahit dan Banten dan Melayu dan Singasari, tetapi kita tidak menangkap dan meneruskan api yang bernyala-nyala dan berkobar di dalam jiwa-Sriwijaya, jiwa-Mataram, jiwa-Majapahit, jiwa-Banten, jiwa-Melayu itu, maka kita pun hanya mewariskan abu saja, mewariskan barang yang mati, mewariskan barang yang tiada harga.”
Semangat kebangkitan nasional muncul, ketika bangsa
Kebangkitan kesadaran atas kesatuan kebangsaan atau nasionalisme yang lahir pada 20 Mei 1908, kemudian menjadi tonggak perjuangan yang terus berlanjut. Muncullah kemudian Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong
Terlepas dari pro dan kontra penetapan Harkitnas yang ditetapkan pada tanggal 20 Mei, tanpa sadar ataupun tidak sadar, kita telah memasuki abad ke dua peringatan Harkitnas yang ke 102 pada tahun 2010. Di tahun tahun awal abad ke dua ini, kita konsisten untuk terus menjaga nilai-nilai kebangkitan nasional sebagai roh dan jiwa perjuangan kita untuk membawa bangsa ini kea rah yang lebih baik.
Penguatan dan pemeliharaan karakter kebangsaaan kita perlu menjadi perhatian kita bersama.
Karakter kebangsaan kita saat ini dan cobaan. Itu dapat kita lihat dari berbagai fenomena yang sering kita dengar dan saksikan di tayangan-tayangan media, etika dan moral bangsa ini mulai terganggu.
Upaya kita mengenang, mengingat, menjaga ingatan dan berjuang melawan lupa adalah sebuah proses epistemologis. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, mengingat adalah awal dari proses mengetahui. Ingatan kita adalah pengetahuan kita. Ingatan sebagai pengetahuan adalah proses memuntahkan ke permukaan semua realitas yang telah terjadi yang terkubur dalam file-file memori kita.
Mengenang para pemuda yang menyampaikan spirit bangkit pada era 1908 adalah sebuah upaya yang tidak saja memutar pita memori kita pada deretan para pahlawan bangsa ini yang dikenal, diberi gelar pahlawan dan didokumentasikan dalam arsip-arsip bertinta emas di tumpukan-tumpukan arsip negeri ini.
Milan Kundera penulis buku The Book of Laughter mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa kita memang kerap jatuh dalam dosa mudah melupakan sejarah, pun sejarah penderitaan. Kita cenderung melupakan dosa-dosa kekerasan masa lalu dan berbagai penyimpangan terhadap martabat manusia entah karena kita takut mengingatnya atau karena kita merasa itu bukan bagian dari sejarah hidup kita. Munir misalnya selalu tampil mengingatkan kita semua agar tidak lupa. Mereka, seperti juga mendiang Bung Karno selalu berapi-api menggelegarkan jasmerah: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Mereka dengan cara perjuangannya yang biasa namun konsisten hingga akhir telah berupaya melawan tindakan ”mematikan ingatan” oleh para penguasa sembari terus ”mempertahankan ingatan” terhadap berbagai penderitaan masa lalu.
Nilai-nilai kebangsaan, kepemimpinan dan teladan sangat kita butuhkan dalam zaman kita saat ini.
Siapa yang harus jadi pahlawan untuk mereka-mereka ini? Boedi Oetomo hanyalah nama. Ki Hadjar Dewantara sudah tinggal kenangan.
Semoga kita terus memelihara, menumbuhkan dan menguatkan jiwa nasionalisme kebangsaan kita sebagai landaan dasar dalam pembangunan. Menegakkan nilai-nilai demokrasi berlandaskan moral dan etika berbangsa dan bernegara, dan mempererat persaudaraan kita.
Mari kita bangkit bersama, kita bangkit bersama rakyat, bangkit untuk menggapai sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih indah. Mari bangkit, mari melawan lupa. Lupa bahwa kita adalah bangsa yang besar. Selamat Harkitnas 2010… Wassalam.
0 Komentar:
Posting Komentar